Pernah mendengar istilah force majeure, terutama saat sedang membaca kontrak atau perjanjian? Baik perjanjian bisnis, kerjasama, hingga perjanjian kerja? Tapi, kamu sadar tidak, sih, apa yang sebetulnya disebut-sebut sebagai force majeure ini? Pengertian force majeure merujuk pada suatu kejadian atau risiko yang tidak bisa dikendalikan dan diantisipasi.
Di dalam kontrak, klausul force majeure memberikan penangguhan sementara kepada pihak debitur dalam melakukan kewajibannya berdasarkan perjanjian setelah peristiwa tersebut.
Lantas, keadaan seperti apa yang termasuk dalam force majeure? Lalu, apa yang biasanya dilakukan ketika menghadapi situasi ini? Yuk, simak penjelasan lengkapnya pada ulasan berikut!
Apa itu Force Majeure?
Force majeure adalah keadaan memaksa (overmatch) yang menyebabkan debitur gagal menjalankan kewajibannya kepada pihak kreditur karena terjadinya kejadian luar biasa dan tidak terduga.
Apa saja kejadian tak terduga itu? Misalnya, terjadi bencana alam seperti gempa bumi dan tanah longsor, epidemi atau pandemi global, perang, kerusuhan, dan berbagai kejadian lainnya. Sifatnya tiba-tiba dan tidak diharapkan, namun tidak bisa dihindari pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian. Akibatnya, akan menghambat kegiatan bisnis atau kerjasama yang sudah disepakati sebelumnya pada kontrak.
Sedikit sulit jika disebutkan dengan lidah Indonesia, istilah ini bisa kita kenal juga dengan keadaan kahar dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan pada bahasa asalnya, yaitu Bahasa Prancis, pengertian force majeure secara harfiah adalah kekuatan yang lebih besar.
Secara umum, sejumlah peristiwa yang bisa dikatakan force majeure ketika terjadi tanpa bisa diduga, di luar kuasa pihak terkait, dan tidak bisa dihindari.
Biasanya, klausul force majeure hampir selalu ada di dalam setiap kontrak perjanjian antara dua belah pihak. Keberadaan istilah ini berguna untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin bisa terjadi di masa depan dan berpotensi menyebabkan kerugian di antara pihak yang terikat.
Sebagai konsekuensi, pihak debitur bisa dibebaskan dari tuntutan ketika kondisinya berada diluar kendali. Sebab, kejadian ini terjadi diluar kendali atau keinginannya.
Dasar Hukum Force Majeure di Indonesia
Indonesia menetapkan dasar hukum force majeure dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1244 dan Pasal 1245.
Pasal 1244 KUHPer menyatakan:
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga atau yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”
Sehingga, dapat dikatakan bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga jika tidak dapat membuktikan ketidaksanggupan memenuhi perjanjian secara tepat waktu karena kejadian di luar kendalinya.
Sementara itu, pada Pasal 1245 KUHPer berbunyi:
“Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”
Dengan kata lain, tidak ada penggantian biaya kerugian dan bunga apabila keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan.
Sehingga debitur berhalangan untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, serta melakukan suatu perbuatan terlarang baginya.
Merujuk pada dasar hukum di atas, ada beberapa unsur yang dapat menyebabkan kondisi tersebut, di antaranya:
- Adanya kejadian tidak terduga
- Terdapat halangan dalam melaksanakan kewajiban
- Halangan tersebut diluar kendali debitur dan bukan disebabkan oleh kesalahannya
- Ketidakmampuan melaksanakan kewajiban tersebut tidak bisa membebankan risikonya kepada debitur
Jenis-Jenis Force Majeure
Force majeure merupakan situasi yang terjadi setelah adanya kesepakatan perjanjian, yang menyebabkan salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya yang tertuang di dalam perjanjian tersebut.
Kejadian luar biasa tersebut akan membebaskan debitur dari segala tuntutan dan risiko, seperti membayar penalti atas dasar wanprestasi.
Nah, force majeure juga dikelompokkan berdasarkan jenis-jenisnya, di antaranya:
1. Force Majeure Absolut
Situasi darurat yang bersifat absolut merupakan keadaan saat hak dan kewajiban debitur tidak bisa dilakukan sama sekali bagaimanapun kondisinya. Keadaan ini sangat memaksa dan tidak bisa dikompromikan. Oleh karena itu, kondisi ini disebut juga dengan impossibility.
Contohnya ketika bahan baku yang menjadi barang utama dalam pembuatan sebuah produk tidak bisa ditemukan lagi di pasaran. Bisa jadi karena memang terjadi kelangkaan ekstrem, atau bahkan habis, atau juga karena produksinya telah dihentikan secara permanen.
2. Force Majeure Relatif
Keadaan relatif juga sering disebut dengan impracticality. Di mana salah satu pihak tidak bisa lagi memenuhi hak dan kewajibannya seperti biasanya.
Misalnya, pemerintah tiba-tiba mengeluarkan kebijakan yang melarang aktivitas ekspor-impor. Idealnya, kontrak tersebut tentu tidak bisa dilaksanakan karena adanya larangan dan aturan pemerintah.
Namun, hal tersebut mungkin masih bisa diusahakan untuk dilakukan dengan mencari alternatif jalan keluarnya. Bisa dengan membawa barangnya langsung dari luar negeri melalui kargo pesawat penumpang oleh penjual atau opsi lainnya yang memungkinkan.
3. Force Majeure Permanen
Pada kondisi darurat permanen, kewajiban dan hak kedua belah pihak sama sekali tidak bisa dijalankan hingga kapan pun.
Misalnya, kontrak pembuatan sebuah produk seni atau kerajinan tangan yang hanya bisa diproduksi oleh salah satu seniman tertentu. Ia memiliki ciri khas dalam karyanya yang dicari kolektor. Namun, seniman tersebut tiba-tiba meninggal dunia dan tidak ada yang bisa menggantikannya untuk menghasilkan produk yang sama persis.
Harapan agar produk tersebut diselesaikan jelas sudah tidak ada. Maka, perjanjian tidak bisa dijalankan.
4. Force Majeure Temporer
Force majeure temporer adalah kondisi ketika kewajiban dan hak tidak bisa dilakukan untuk sementara waktu. Namun, dalam beberapa waktu ke depan, masih ada harapan untuk dapat menyelesaikan kewajiban tersebut, sehingga sifatnya bersifat temporer.
Contoh kondisi darurat yang bersifat kontemporer adalah kegiatan mogok kerja dan demo besar-besaran para pegawai. Aktivitas ini bisa berlangsung seharian, atau bahkan beberapa hari sampai terjadi kesepakatan tertentu antara pemberi kerja dan pegawai.
Setelah keadaan kembali normal, maka pabrik akan kembali beroperasi dan produksi barang yang untuk beberapa hari sempat tertunda dapat dilanjutkan kembali.
Contoh Force Majeure
Untuk memudahkanmu memahami terkait klausul atau konsep ini, berikut contoh force majeure sederhana yang mungkin sering terjadi dalam kerjasama bisnis sehari-hari.
Pak Prabu merupakan seorang petani sayur yang memiliki usaha perkebunan sayuran. Ia memasok hasil kebun dan pertaniannya ke banyak toko-toko retail dan swalayan di kota. Pengiriman selalu dilakukan rutin hampir setiap hari.
Namun, pada suatu waktu, pihak ekspedisi yang mengangkut hasil panennya untuk disalurkan ke toko dan pasar mengalami kecelakaan. Sayuran tersebut rusak di perjalanan dan tidak bisa diantarkan kepada para pemesan di kota.
Pada situasi ini, Pak Prabu sebenarnya telah menjalankan kewajibannya dengan baik dan mengirimkan produknya. Namun kecelakaan tersebut adalah musibah yang terjadi di luar dugaan. Dengan ini, Pak Prabu tidak dianggap lalai dan tidak akan dituntut ganti rugi oleh pihak toko retail yang menjadi pelanggannya.
Jadi, force majeure memang merujuk pada kondisi mendesak yang menyebabkan seseorang tidak bisa memenuhi kewajibannya berdasarkan kesepakatan pada kontrak.
Selama kejadian tersebut bisa dibuktikan dan tidak dibuat-buat, maka pihak yang dirugikan tidak bisa meminta ganti rugi karena hal tersebut terjadi di luar kendali.
Nah, semoga informasi di atas dapat membantu kamu memahami lebih baik mengenai istilah ini, ya! Temukan informasi menarik lainnya seputar bisnis, keuangan, dan pemasaran hanya di MBN Consulting! Klik di sini.
Baca Juga: Mengenal Risiko Operasional Bisnis dan Cara Menghindarinya