Model bisnis franchise (waralaba) menjadi salah satu pilihan primadona para pelaku bisnis. Sistemnya yang dianggap lebih simpel dan praktis, serta memiliki potensi outcome yang pasti, menjadi daya tarik yang membuat bisnis franchise digandrungi. Namun, sebelum memulai bisnis tipe ini, alangkah baiknya kamu mengetahui setiap detail terkait bisnis, termasuk mengenai aturan pajak bisnis franchise.
Oleh karena model bisnis franchise dijalankan menggunakan hak khusus terkait merek, apakah sistem pemungutan pajaknya berbeda? Nah, di artikel ini, kita akan bahas bersama mengenai sistem dan aturan pajak bisnis franchise. Yuk, simak informasinya!
Mengenal Pajak Bisnis Franchise
Setiap jenis usaha yang masuk kriteria wajib pajak, tentu akan melaksanakan kewajibannya sesuai aturan yang berlaku. Pelaksanaan kewajiban ini pun tidak lepas dari jenis bisnis franchise.
Franchise merupakan kerja sama bisnis berbasis kemitraan dengan persetujuan jual-beli hak penggunaan merek untuk menyelenggarakan usaha. Kuncinya terdapat pada kekuatan brand dan kualitas bisnis yang sudah terstandarisasi. Supaya usaha kamu dapat diwaralabakan, setiap pengusaha harus mendaftarkan merek dagangnya ke Ditjen Hak kekayaan Intelektual Indonesia (HAKI).
Nah, tipe bisnis ini tentunya juga tidak lepas dari kewajiban perpajakan. Secara praktik, bisnis franchise atau waralaba akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kemudian, juga akan dikenakan Pajak Penghasilan atau PPh.
Penyelenggara waralaba terdiri atas:
- Pemberi waralaba berasal dari luar negeri
- Pemberi waralaba berasal dari dalam negeri
- Pemberi waralaba lanjutan berasal dari waralaba luar negeri
- Pemberi waralaba lanjutan berasal dari waralaba dalam negeri
- Penerima waralaba berasal dari waralaba luar negeri
- Penerima waralaba berasal dari waralaba dalam negeri
- Penerima waralaba lanjutan berasal dari waralaba luar negeri
- Penerima waralaba lanjutan berasal dari waralaba dalam negeri
Kewajiban Pajak Franchise
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Peraturan mengenai pemungutan pajak bagi bisnis waralaba tercantum dalam Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) dan terakhir diubah terakhir menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP).
Berdasarkan hukum yang mengatur, benda yang wajib dikenakan PPN adalah barang berwujud yang menurut sifat hukumnya dapat berupa barang bergerak / barang tidak bergerak / barang tidak berwujud.
Objek PPN
Barang yang menjadi objek PPN adalah barang berwujud atau transaksi yang melibatkan barang-barang berwujud. Kedua, barang tidak berwujud atau transaksi yang melibatkan barang-barang tidak berwujud.
Subjek PPN
Pada konteks PPN, jika pihak pemberi franchise berada di dalam daerah pabean (wilayah Republik Indonesia), maka akan dikenakan PPN atas penyerahan BKP atau barang kena pajak di dalam daerah pabean. Kegiatan ini meliputi produksi barang dan jasa mulai dari penyerahan, pemanfaatan, ekspor-impor barang terkena PPN di dalam daerah pabean. Tarif pajak PPN yang dikenakan sebesar 10%.
Namun, jika pemilik waralaba berada diluar daerah pabean, maka termasuk ke dalam kategori pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean.
2. Pajak Penghasilan (PPh)
Selain PPN, usaha franchise juga akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Badan atas penghasilan dan kekayaan ekonomis yang dihasilkan oleh subjek pajak.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagaimana terakhir telah diubah menjadi UU HPP, subjek pajak usaha franchise akan dikenakan Pajak Penghasilan perorangan (PPh 21) dan Pajak Penghasilan Badan (PPh 23).
PPh 21
Wajib pajak orang pribadi harus melaporkan semua kekayaan yang didapat atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain atas pekerjaan, jabatan, jasa, maupun kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.
PPh 23
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 ditujukan untuk penghasilan atas modal, penyerahan jasa, hadiah, dan penghargaan. Dalam hal ini, bisnis franchise yang mengadopsi merek, juga akan dikenakan PPh 23 di mana harus membayarkan royalti kepada pemilik merek dagangs ebesar 15% dan biaya jasa lainnya yang dilakukan oleh badan usaha serta persewaan atas penggunaan harta/aset.
Jika pemilik franchise berasal dari luar negeri, maka yang terutang adalah PPh 23 sebesar 20% dan terutang PPN 10%.
Penghasilan ini termasuk di dalamnya:
- Dividen
- Bunga (PPh Pasal 23/26)
- Royalti (tarif 15% PPh pasal 23)
- Laba Usaha (tarif 20% PPh Pasal 26)
- Premi asuransi
- Imbalan usaha berupa gaji, upah, honorarium, komisi, uang pensiun, dan bonus
- Hadiah (tarif PPh Pasal 17)
Warisan dan bantuan berupa zakat atau hibah yang tidak berhubungan dengan hasil dari usaha atau bisnis tidak termasuk sebagai objek Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
Perlakuan PPh
- Initial franchise fee dan penjualan peralatan (PPh 26)
- Persewaan peralatan (PPh 23)
- Penggunaan peralatan yang tergolong royalti (PPh 26)
- Penggunaan peralatan yang tergolong penghasilan dari usaha (PPh 26)
- Imbalan jasa teknik (PPh 23)
Konsultasikan Permasalahan Pajakmu
Kami memahami, perhitungan pajak dan mekanisme pelaporan SPT tahunan, baik pajak orang pribadi maupun badan seringkali membingungkan. Permasalahan ini memang umum terjadi dan dikeluhkan oleh para wajib pajak.
Kini, MBN Consulting hadir memberikan solusi terbaik soal permasalahan perpajakanmu. Mulai dari perhitungan pajak dan pelaporan SPT, konsultasi kepatuhan pajak, hingga pendampingan pemeriksaan pajak.
Tertarik mengetahui layanan lainnya yang kami tawarkan? Klik tombol di bawah untuk berkonsultasi lebih lanjut sekarang, GRATIS!